Translate

Rabu, 17 April 2013

PERISTIWA 1965 DAN AKTIVIS PEREMPUAN DI KOTA KUPANG

Bab 4
Kota Kupang


Stadion Merdeka, Kota Kupang:  

Tempat Penahanan Perempuan



Stadion Merdeka, yang berlokasi di Kelurahan Oeba, Kota Kupang, merupakan sebuah lapangan olah raga. Pada Peristiwa 1965 stadion tersebut digunakan untuk menahan para tahanan politik perempuan. Beberapa orang yang kami wawancarai pernah ditahan di sana. Menurut narasumber, satu kamar ditempati oleh dua hingga empat orang dengan tempat tidur masing-masing. Perempuan ditahan di stadion ini kira-kira selama beberapa minggu sampai satu bulan.
Pembangunan gedung dan lapangan ini dimulai pada tahun 1962, dipimpin oleh seorang tentara yang dibantu anak buahnya. Pada tahun 1964–65, mulai dibangun kamar-kamar yang kemudian digunakan sebagai gedung penampungan atau asrama bagi para atlet dari masing-masing kabupaten di wilayah NTT yang akan berlomba.
 
Gedung asrama ini terdiri dari 15 kamar yang berukuran sekitar 4 x 6 meter, satu ruang pertemuan yang cukup besar, satu dapur umum, dua kamar mandi, dan WC. Pendiri stadion ini, selain bekerja sebagai seorang tentara, juga seorang pelatih olah raga. Pada waktu itu, Stadion Merdeka merupakan tempat berlangsungnya pertandingan sepak bola bagi klub-klub yang ada di dalam dan di luar negeri (Portugal, Australia). Selain itu, juga stadion dipakai sebagai tempat lomba motor cross. Sekitar tahun 1990an, asrama ini kemudian dialihfungsikan sebagai tempat tinggal orang-orang karena telah ada asrama baru yang digunakan sebagai tempat tinggal para atlet. Sampai saat ini, Stadion Merdeka masih digunakan sebagai tempat untuk pertandingan bola kaki.


Pernyataan Tim Kota Kupang



PERISTIWA 1965 DAN AKTIVIS PEREMPUAN

DI KOTA KUPANG

Nela Loy Bhoga, Martha Bire, dan Golda Sooai



Pada tahun 1950an sampai dengan awal 1960an, kondisi kehidupan yang dihadapi oleh kaum perempuan NTT tidaklah jauh berbeda dengan kaum perempuan lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang setara dengan laki-laki di satu pihak mulai terbuka, namun di pihak lain masih terhalang oleh bayang-bayang budaya patriarki yang masih cukup kuat dalam masyarakat. Namun demikian, terdapat juga beberapa perempuan yang berhasil menyelesaikan studi mereka pada jenjang yang tinggi. Oleh karena itu, mereka dapat bekerja dan hidup mandiri dengan penghasilan mereka sendiri.



Selain bekerja, mereka juga memperoleh kesempatan untuk bergabung bahkan berperan aktif dalam berbagai organisasi perempuan seperti Persekutuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI) dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Lingkup pergaulan mereka tidak lagi terbatas hanya pada ranah domestik kerumahtanggaan, tetapi juga masuk ke ranah publik. Hal ini merupakan prestasi yang baru pada waktu itu.



Keterlibatan dalam organisasi-organisasi perempuan ini tidak pernah disangka akan menjadi bumerang di kemudian hari bagi para perempuan aktivis NTT, mengingat bahwa organisasi-organsasi ini merupakan organisasi umum yang legal dan dinyatakan resmi oleh pemerintah waktu itu. Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan pun adalah kegiatan-kegiatan positif yang diminati oleh kaum perempuan. Tidak heran jika ada segelintir perempuan cerdas yang kemudian sangat aktif, bahkan dipercayakan untuk menjadi pengurus inti dalam organisasi-organisasi tersebut.



Lewat penelitian ini, kami beberapa orang perempuan dari generasi yang lebih muda berkesempatan untuk bertemu dan berbagi cerita dengan beberapa perempuan luar biasa ini. Kami bertemu dengan setidaknya dua orang pengurus inti Gerwani di Kota Kupang dan seorang isteri dari kepala Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terbunuh dalam operasipemulihan keamanan dan ketertibanwaktu itu. Tiga orang ibu ini bersedia berbagi dan mempercayakan kisah mereka kepada kami, namun hanya dua orang yang bersedia ceritanya dipublikasikan. Selain mereka, kami juga berhasil bertemu dengan seorang korban laki-laki, seorang anak korban, beberapa orang saksi yang pada waktu itu adalah tokoh penting dalam Partai Kristen Indonesia (Parkindo), tokoh gereja, dan juga masyarakat. Dari mereka kami memperoleh kesaksian yang mendukung bahwa pada periode itu terjadi kekerasan terhadap masyarakat sipil, termasuk di dalamnya para perempuan aktifis.



Kekerasan ini meninggalkan trauma yang berkepanjangan dalam masyarakat, khususnya bagi para perempuan. Kaum perempuan yang baru saja menapaki kesempatan mereka untuk masuk dalam lingkup yang lebih luas dari ranah domestik harus menerima kepahitan bahwa keterlibatan mereka dalam organisasi justru menjadi alasan mereka ditangkap dan kehilangan banyak hal penting dalam hidup mereka. Pekerjaan, hak-hak sebagai warga negara, bahkan orang yang mereka kasihi terenggut, digantikan dengan penangkapan, penahanan, dan stigma buruk dari pemerintah serta masyarakat sekitar mereka. Untuk dapat lebih memahami pergulatan hidup para perempuan aktifis di Kota Kupang sejak peristiwa kelam terkait G30S sampai dengan sekarang, maka kita harus mengetahui konteks kehidupan masyarakat Kota Kupang periode 1960 sampai 1970...



 

Click  link below to continue reading: 
Read more part 1 click here
Read more part 2 click here
Read more part 3  click here